nusatara,Bengkulu- Fakta-fakta mengenai dugaan adanya mafia tanah di Kota Bengkulu mulai terkuak setelah laporan dari warga, Ali Sabana, ke Polda Bengkulu beberapa waktu lalu. Kasus ini kini memunculkan keberanian sejumlah korban lainnya untuk angkat bicara, khususnya terkait jual beli tanah di kawasan Kelurahan Pekan Sabtu, Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu.

Salah satu korban, Suhadi, warga Kelurahan Pekan Sabtu, mengungkapkan bahwa dirinya telah membeli empat kapling tanah dari seseorang yang diduga sebagai bagian dari mafia tanah. Empat kapling tersebut dibelinya pada tahun 2021 dan 2022 dengan harga bervariasi, yaitu Rp 4 juta untuk tanah berukuran 10×25 meter dan Rp 5 juta untuk tanah berukuran 10×20 meter. Transaksi itu dibuktikan dengan kwitansi jual beli bermeterai.

“Mereka meyakinkan saya bahwa surat tanah aslinya ada, meskipun saya tahu sebenarnya tanah itu milik Pak Sabri,” kata Suhadi.

Ia menduga, oknum yang menjual tanah tersebut memiliki kekuatan atas dasar alas hak tanah dengan menyimpan surat asli, sehingga dirinya percaya tanah tersebut benar milik oknum tersebut. “Mungkin saja tanah orang tua oknum itu dulu ada di situ, tapi tanah itu sebenarnya sudah dibeli Pak Sabri pada tahun 1980-an. Namun, karena waktu itu Pak Sabri tidak memegang suratnya, surat tanah itu akhirnya berada di tangan oknum yang sekarang diduga menjadi mafia tanah,” jelas Suhadi.

Akibat transaksi tersebut, Suhadi mengalami kerugian puluhan juta rupiah. Ia bahkan sempat membangun bangunan di atas tanah yang dibelinya, namun bangunan itu dihancurkan oleh orang lain yang ternyata juga menjadi korban mafia tanah, yakni Ali Sabana. “Aku sudah pasrah saja,” ujar Suhadi dengan nada kesal.

Sebelumnya Warga Bumi Ayu, Hunrullah alias Ong mengaku pernah menjadi ketua kelompok  penggarap lahan di kawasan Pekan Sabtu atas dasar perintah oknum yang berinisial, UP.

“Awalnya saya ini dituakan untuk mengurus tanah itu, banyak anggotanya, mungkin lebih dari tiga puluh orang. Kenapa saya mau mengurus tanah itu, karena pengakuan, UP dia ada surat. Setelah kita pelajari surat itu, ternyata tidak jelas surat kepemilikan UP,” ungkap, Ong beberapa waktu lalu, seperti dilansir Bencolentime (26/12).

Ong mengaku setelah mengetahui bahwa surat yang dipegang, UP ini tidak jelas. Ia pun mengundurkan diri untuk mengurus tanah tersebut. “Makanya saya mundur dari kepengurusan itu,” ujar Ong.

Ia mengatakan, bahwa surat yang dipegang oleh UP ini disimpulkan tidak jelas karena dalam surat tersebut beralamat Talang Empat dan saat ini, orang asli Talang Empat sudah tidak ada lagi sehingga tidak ada tempat untuk menanyakan kebenaran tanah tersebut.

Kasus ini menjadi perhatian publik di Kota Bengkulu, dan banyak pihak berharap aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah yang telah merugikan banyak warga.(Uj)