Jakarta- Kebijakan kenaikan usia pensiun menjadi 59 tahun, yang mulai berlaku Januari 2025, menuai kritik dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menyatakan kebijakan ini dapat mengancam kesejahteraan pekerja di usia senja, terutama karena sebagian besar pekerja harus menunggu lebih lama untuk mencairkan jaminan dana pensiun.

“Di Indonesia, banyak pekerja yang pensiun di usia 56 tahun atau bahkan lebih muda. Jika mereka harus menunggu hingga usia 59 tahun untuk mencairkan jaminan pensiun, maka banyak yang terpaksa bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa tunggu tersebut,” ujar Nihayatul Wafiroh, Kamis (16/1/2025).

Kebijakan ini adalah bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Pasal 15 ayat 3 peraturan tersebut menyebutkan usia pensiun bertambah satu tahun setiap tiga tahun hingga mencapai 65 tahun.

Ninik, sapaan akrab Nihayatul mengkritik kebijakan ini karena lebih berfokus pada keberlangsungan dana pensiun daripada kesejahteraan pekerja. “Kebijakan ini seharusnya memberikan manfaat nyata bagi kelompok yang dilindungi, bukan menambah beban mereka di usia tua,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa tidak semua pekerja, terutama dari sektor nonformal atau yang berpenghasilan rendah, memiliki kesiapan finansial untuk menunggu pencairan dana pensiun hingga usia 59 tahun. Sebagai solusi, Ninik mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan skema pencairan sebagian dana pensiun saat pekerja resmi pensiun, sementara sisanya dicairkan pada usia yang ditentukan. “Dengan skema ini, pensiunan tetap memiliki sumber dana untuk memenuhi kebutuhan di masa awal pensiun tanpa harus menunggu terlalu lama,” jelasnya.

Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan literasi keuangan pekerja agar mempersiapkan dana pensiun sejak dini dan memberikan insentif bagi pekerja yang menunda pencairan dana pensiun. “Kebijakan ini tidak boleh seragam tanpa mempertimbangkan kondisi riil pekerja. Jika tidak, justru dapat menimbulkan ketidakadilan sosial,” pungkasnya.**